Monday 25 April 2011

Kartini Kini Tinggal Mitos

Ada merpati turun dari surga, melembut di atas alam. Putih seperti salju, halus seperti sutra, begitu cepat dalam kecepatan. Dalam mulutnya membawa sebuah batang semanggi Lembut hati-hati. Dimana tiga daun semanggi sesuai bersama. Merpati melemparkan batang dengan lembut ke bawah Dan segera terbang membuai dengan bertepuk tangan pergi ke surga lagi. Tetapi diberkatilah, diberkati, daun-daun Yang di sini menemukan kaki Mereka adalah Iman, dan Harapan dan Kasih yang bersama-sama sebagai satu.”
Dari kanan ke kiri : Kartini, Kardinah dan Roekmini.

           Penggalan puisi diatas adalah sebuah tulisan tangan asli berbahasa Belanda yang terdapat dibelakang foto kabinet dengan potret bertandatangan oleh tiga saudara yaitu Kartini, Kardinah, dan Roekmini.

Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan yang lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879, tepatnya 132 tahun yang lalu yang kemudian dikenal sebagai salah satu pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Lahir dari keluarga bangsawaan Jawa tidak lantas membahagiakan beliau, hal ini terbaca dari beberapa surat-suratnya kepada sejumlah rekannya. Kartini yang wafat dalam usia relatif dini—tepatnya pada usia ke-25 tahun 190. Cara kematiannya pun khas seorang ibu kebanyakan di Indonesia, wafat sewaktu melahirkan, tanpa sempat melihat anak pertamanya itu.

Kartini dari saat lahir, memang belum banyak berbuat untuk kemajuan kaumnya, namun buah pikiran dan cita-citanya menjadi inspirasi gerakan perempuan selanjutnya. Beliau merepukan sosok pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Perjuangannya dalam membela hak-hak kaum perempuan menjadi hal fenomenal yang patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapan pun.

Walaupun Kartini bukanlah sosok hero layaknya G.I. Jane yang diperankan oleh bintang seksi nan rupawan Demi Moore dalam drama film Hollywood yang memanggul senjata maju di medan perang. Namun, Ia adalah pendobrak patron dan paham patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental.


Seabad berikutnya, Kartini kini boleh berbangga dengan hasil jerih payahnya selama ini, karena kini usahanya memuaikan hasil nyata meskipun presentase perempuan di dalam struktur jabatan eksekutif dan legislatif belum terwakili secara keseluruhan, namun setidaknya pendidikan untuk perempuan Indonesia sudah cukup maju hingga sekarang.

Permasalahan kesetaraan gender dan feminisme memang sering dikait-kaitkan dengan permasalahan HAM dan keadilan sosial dalam arti luas, hingga mudah bagi konsep tersebut menarik simpati, khususnya bagi perempuan. Mengapa mereka sering diidentikkan sebagai perempuan yang sepatutnya hanya mengurusi urusan rumah tangga, sedangkan lelaki dengan leluasanya berkarir setinggi-tinggi yang sebenarnya dapat pula dilakukan oleh perempuan. Inilah salah satu poin yang di tuntut pula dalam gerakan ini.

Sosok Kartini kini berangsur-angsur menjadi sebuah momok mitos di masyarakat, mereka hanya merasa cukup mempercayai beliau sebagai sang pembawa titik terang bagi kaum perempuan Indonesia, dengan terjebak dalam gagasan hal itu dapat dibaca dibajunya, kebaya yang dikenakan, masakannya, atau pun formalitas nama besarnya, tanpa perlu memaknai hikmah didalamnya.

Sayup-sayup lantunan lagu “Ibu kita Kartini” karya WR Supratman yang sering kita dengar sewaktu kecil, lambat-laun semakin terabrasif di masa sekarang. Sungguh Menyedihkan, bukan?

 Kita seyogyanya mengenang Kartini pada gagasan, ide, perjuangan, dan pandangan-pandangannya tentang ketuhanan, kebijaksanaan, keindahan, humanisme, dan nasionalisme. Bukan pada apa yang telah diapresiasi oleh orang lain.

Sebab, boleh jadi kita akan terjebak pada sosok Kartini sebagai sebuah nama besar dan menafikan gagasan besarnya, hal ini hanya akan menjadikan Kartini sebagai mitos yang melengkapi cerita-cerita mitos di negeri kita ini. Kartini adalah putri sejati yang peduli kaumnya, dimana pada masanya hampir tidak ada orang yang peduli nasib perempuan, bahkan oleh dan dari kalangan perempuan sekalipun.

Hari ini, biarkanlah semangat tumbuh dan berkembang menyemangati setiap jiwa perempuan Indonesia. Pun, seluruh jiwa anak bangsa ini, karena ide, gagasan, dan spirit untuk maju tidak hanya boleh diklaim oleh segolongan kaum, apalagi oleh hanya karena jenis kelamin.

No comments: