Wednesday 18 May 2011

Cinta Empat Bab

 Novel ini bercerita tentang cinta segi empat yang terjaling antara  Ita, Yus, Jon dan Nin secara rumit dan tidak biasa. Ita, seorang wanita berumur 37 tahun, memiliki pekerjaan mapan sebagai redaktur di sebuah harian dan telah mempunyai suami, wisnu. Ditengah kekakuan rumah tangganya—ia berkenalan dan akrab dengan seorang penulis muda terkenal, Jon, yang usianya dua tahun lebih muda. Namun, ia memiliki hasrat cinta yang lebih kepada Yus, lelaki yang berusia 24 tahun yang baru belajar menulis. Ita pun memita Yus untuk bertemu disebuah wisma.

Yus, yang hanya memandang Ita sebagai salah satu gerbang bagi dunia kepenulisannya, agar karya-karya dapat dimuat. Mengalami tekanan batin atas cinta yang Ita berikan dan Idealismenya sebagai seorang penulis. Ia sebenarnya menambatkan hatinya terhadap Nin, seorang calon novelis berparas jelita lagi cerdas. Sayangnya, kini SMS yang dikirim untuk Nin tak pernah dibalas.

Nin adalah gadis muda dan segar yang masih duduk di semester dua—begitu memuja dan mengagumi sosok Jon, dan selalu menunggu SMS dan telpon darinya. Tak tertampikkan ia begitu senang bertemu dan berkonsultasi dengan Jon mengenai novelnya. Dia banyak belajar dari penulis handal itu.

***

Pembaca pasti sudah dapat meraba sedikit, tentang menu utama yang disajikan dalam sebuah novel karya Hermawan Aksan ini melalui judul dan sinopsi yang ditawarkan. Salah satu point kuat dalam novel ini yaitu penulis mampu memberikan sentuhan yang kuat dan detail mengenai karakter tokoh sehingga semakin menarik untuk disimak halaman demi halaman.

Rumitnya kisah cita segi empat ini menyimpan misteri yang membuat penasaran, meski endingnya terasa begitu sederhana. Cinta Empat Bab ini, tidak hanya menyoroti sisi percintaan sang tokoh tetapi juga memberikan bumbu-bumbu nasehat dan pelajaran tentang dunia kepenulisan, jika pembaca tertarik untuk terjung dalam dunia ini.

Ini bukan sekedar Novel semata dikarenakan sang penulis, Hermawan Aksan, memaparkan beberapa cerpennya yang telah dimuat disejumlah media cetak. Fiksi komplikasi ini tidak hanya mengangkat cerita tentang percintaan saja, tetapi juga tentang kritik sosial dan mitos-mitos dalam masyarakat.

Singkatnya, novel Cinta Empat Bab sangat dianjurkan untuk dibaca terlepas dari cerita cinta yang rumit dan beberapa Cerpen. Pembaca pun dapat memetik pelajaran tentang kepenulisan dan mengecap indahnya warna-warni kehidupan yang terampung dalam buku ini.

Hanya ketakutan belaka


Malam makin larut. Hanya cahaya lampu temaram yang berpijar. “saatnya terlelap” dogeng pun ada akhirnya. Pejamkan matamu rapat-rapat. Kantuk mulai menyergapmu dalam diam.
Saatnya merasakan tikaman mimpi, esoknya giliran realita. “aku ngantuk” kantukku hilang bersama embunan pagi. Gumpalan air itu menyapa dedaunan. Hasil pembentukan—entah apa istilahnya—malam itu. Pun hilang bersama uapan hasil sinaran matahari.

“hoaaaamm...” cahaya itu kian menyilaukan, mungkin hingga menembus isi tubuhku. Panas, rasanya panas terbakar. Segera kututup rapat-rapat gorden yang tersibak itu. Ku matikan lampu di pojok. Ku tutup pintu dengan sekali hentakan. Suaranya bantingannya menggema seisi ruangan. Ku jatuhkan tubuhku dengan lemas di atas kasur.  Belum saatnya aku menjalani ini? Tarikan selimut itu telah menutup separuh tubuhku. Tiba-tiba, serangan itu mematikanku lagi dalam alunan maya. Saatnya melanjutkan mimpi yang tertunda. Terlelap dalam ketakutan. Karena ini belum masaku untuk berpijak.

Makassar, 5/18/2011 3:57:30 PM

Saturday 7 May 2011

Sepatah kata Ibu




“Nak, malam sudah larut. Sudah saatnya kau terlelap”
“tapi aku belum kantuk. Cahaya pun masih benderang. Ibu lihat? Malam masih belia”
“...”
“nak, kau butuh tidur. Kau butuh tenaga. Kau butuh istirahat”
“...”
“apa kau tidak peduli sama ibu?”
“ibu! Ini bukan peduli atau apa pun. Aku hanya ingin—yah, menikmati malam. Titik!”

Hening

“nak, nasi sudah matang. Lauk sudah tersedia. Saatnya kau makan”
“aku tidak lapar”
“makanlah barang sedikit pun tak apa, asal ada yang mengganjal”
“aku bosan,bu! Makan ini. Itu. Ini. Itu melulu. Apa ibu tidak bisa buat yang lain?”
“terus nak mau makan apa? Biar ibu coba buatkan yang lain. Sayur asam, ayam rica-rica, atau apa?”
“cukup! Aku sudah muak bu!”

Bang!

“bu...aku mau baju merah itu”
“yang mana?”
“itu, yang terpajang di depan kaca toko”
“...”
“nanti ibu buatkan jauh lebih indah dari yang itu. Ibu belum punya uang yang cukup nak”
“tidak! Ibu tidak pernah mengerti!”
“...”

Dam!

“bu, aku mau jajan”
“tapi ibu buat kue kesukaanmu. Kue sagu”
“aku benci ibu!...ibu tidak akan pernah mengerti rasa sakit ini”
“...”
“ibuuu tidaaak akann mengerti. Tidak akan pernah!”
“...”
“lebih baik aku tidak punya ibu!”

Plak!

“bu...maafkan aku yang tak pernah mengerti ibu”
“...”
“buuuu.....”
“bangun buuuuu!”
“buuuuu!”
“aku akan menurut!”
“ibu mau apa?”
“biar aku yang buat bu! Asal ibu bangun, yah?”
“buuuuu..........”
“ibu tahu?  Aku punya bintang, yaitu ibu yang menyinariku di malam hari aku tak butuh apa pun, bu. Aku juga suka masakan ibu yang ini, juga yang itu, enak bu. Aku tak terbiasa makanan lain, bu”
“Buuuu...”
“bajuku masih baru, indah, dan aku suka. Ini kan baju buatan ibu. Sangat cantik bu”
“ibu bangun bu, hari sudah pagi. Matahari sudah menyingsing, ibu mesti bangun...”
“...”
“ibu tahu? Aku ingin selalu bersama ibu”
“aku tidak butuh apa pun, bu. Asal sama ibu. Itu sudah cukup”
“bu, ini sudah cukup, bu”
“sungguh...”
“...”
“...”
“...”
Beku

Makassar, 5/7/2011 3:19:13 AM

Wednesday 4 May 2011

Prolog Hitam


Buku kosong ini telah penuh sesak, corat marut, sobekan di setiap ujungnya dan kini kusam berantakan. Buku ini pun kini sudah tak layak kau baca—ia, tintanya telah memburam, merembes pada tiap-tiap lembaran kertas. Mungkin, hidupku pun penuh sesak. Sesesak buku kosong ini. Semakin dekatkah ia pada prolog kehidupan? Sebab diriku telah lelah menorehkan kata pada tiap paragraf dalam ceritanya. Baiknya sejenak ku 
berhenti, merenungi kisah ini. Kisah hitam putih. Kisah putih hitam. Kisah yang akan terus berputar.

Menarik nafas dalam-dalam sedetik. Menghembuskan semua asa yang tak tercapai. Bukan karena tidak mungkin, cuman belum saatnya. Tidak terdapat tanggal, hari dan apa pun pada buku kosong tetapi kenapa pula aku bersusah-susah menyinggungnya, toh itu tak penting, yang jelas isinya berbobot. Mungkin pula penuh sesaknya karena sesekali tulisan yang telah tertulis ku hapus paksa hingga terdapat banyak corat-marut disana-sini. Kalau aku kesal sambil meluangkan waktuku padanya, ku sobek ia sesuka hatiku tuk meluapkan segala emosi yang tertahan di dada. Aku tidak tahu, kenapa aku begitu kesal dan terasa tenang ketika ia yang harus menanggung seluruh beban emosiku. Seluruh keegoisanku. Seluruh hidupku.

Prolog hitam mulai tampak pada penghujungnya, aku kini tak sanggup melanjutkannya. Ku hentakkan keras pada bidang meja didepanku, kulempar pada dinding, kertas berhamburan menyeruak pada bagian-bagian yang melepaskan diri dari sebah ikatan yang membelenggu dalam kesatuan yang semu. Aku muak. Aku munafik. Dan aku mengakuinya. Tawamu mungkin membahana hingga ke ujung samudera anta-berantah. Masa bodoh!

Aku kejang-kejang, berbusa, tapi bukan epilepsi. Hanya sindrome ketakutan akut yang tak tertahankan akan suatu pengakhiran yang tidak pasti. Buram? Bias? Atau kabur? Mungkin gabungan seluruhnya yang menyatu pasti dalam darahku.

Buku kosong. Ku bakar ia setelah mendekam lama, dalam drum berisi kayu, bensin dan kertas lainnya. Ku nyalakan korek kayu ini. Debaran dada membludak. Mendidihkan gumpalan merahku. Alirannya terpompa deras hingga ke pelosok sudut. Beku. 3 detik. 5 menit. Setengah jam. Kayu korek itu mati tertiup angin.

Ku nyalakan lagi. Mati. Berikutnya, mati. Tetap kucoba. Ia berpijar. Ku lempar saja langsung ke dalam. Berharap ia terbakar dalam bahagia. Dalam pekatnya teka-teki yang tidak mesti selamanya diungkapankan. Berharap biarlah sebuah prolog ini menjadi kejutan tersendiri dalam hidupku. Tanpa sebuah tulisan yang ku rancang jauh-jauh sebelumnya. Seolah kehidupan dapat terbaca dalam sebuah buku kosong ini.

Selamat tinggal buku kosong, dan epilog hitammu telah mendekat. Dan aku bahagia menjadi bagian kecil darimu.

Makassar
Wessabe, 5/4/2011 4:13:32 PM

Friday 29 April 2011

Kiss me, Kill me




Aku ingin membunuhnya seperti yang dahulu kulakukan dengan mudah pada lelaki-laki yang kutiduri tiap malam. Namun, setelah kurasakan klimaks surga dalam senggama bersamanya dan getaran lain yang tak bisa kumatikan dalam dadaku ketika ku tatap mata sendunya, Aku mengulur waktu hingga tiba saatnya.

***

Aku berdiri disini, di tengah jalan gelap dengan siraman tangisan deras dari langit. Dadaku penuh, dadakku sesak dan detak jantungku pun kini berhenti berdetak. Mati rasa—rasanya mati rasa. Aku tidak habis pikir? Begitu mudah bagimu membuangku. Tepat di tong sampah pojok kubangan lumpur. Dekat parit rumahmu.
Aku menatap lurus, tajam dan memanas.
Kini saatnya untuk membunuhmu, membunuh semua yang pernah kita lalu. Saat yang tepat. Saat jam berdenting di pelukan dinding. Saatnya kau hilang bersama kenangan.

***

Ia berdiri kaku didepanku layaknya boneka kayu. Tangannya mengeras membentuk tinjuan siaga. Matanya menerjang—menelajangi mataku. Mencabik jantungku, memakan hatiku. Dan aku masih terpukau tak berkedip.
Silauan dari pisau di genggamannya tak urung menyadarkan ku dari lamunan ujung-ujung kematian. Entalah, aku tak tahu sejak kapan pisau itu sudah bertahta di tangannya, yang ku tahu satu hal aku masih disini, berdiri disini, tepat didepan dirinya.

 ***

Aku muak, benci dan marah. Bukan karena apa, tetapi karena kenapa. Tapi apa yang kudapat? Tak ada. Aku lelah tetapi terus berlari hingga tarikan nafas terakhir. Ada peluh di sudut pori kulitku, aku bayangmu di pojok hatiku.
Ah, sayang aku kini membuangnya jua. Sama yang kau lakukan. Mata untuk mata. Hati untuk hati dan mati hanya pantas untukmu.

***

Tes-tes-tes, suara hujan kini meneteskan alunan kematianku. Aku sudah siap. Aku sudah terima. Aku kan pantas. Pantas seperti yang suara hatimu bisikan.
Tarikan nafas untuk terakhir kalinya. Dalam sedalam lukamu. Sedalam aku menerima semuanya. Kau dan aku. Sedalam gumpalan darah dalam neraka. Segumpalan kenangan yang akan mati. Mati bersama pisau yang kau hunus.
 
***

Aku berlari. Kencang. Berlari. Makin kencang. Berlari. Semakin kencang. Tepat—dugaanmu tepat pada sasaran, aku menghunuskannya dikiri atas dadamu. Tepat dimana hatimu bersemayam bersama kenangan. Kenangan kau dan aku. Kenangan kita. Ku bunuh ini dengan tanganku. Ku bunuh sendiri. Aku terisak. Menangis sejadi-jadinya. Keras hingga suara derasnya hujan terbiaskan.
Aku tak tahu kenapa kau memelukku. Erat—sangat erat. Kau memegang kedua tanganku yang masih menghunuskan pisau untuk membunuhmu. Kau memberi ku kekuatan untuk menikamnya lebih dalam. Aku heran. Mataku membulat. Alisku melengkung tajam. Dahiku mengernyit. Kepalamu mendekat. Sayup-sayup ku dengar beningnya suarau berbisik parau.

“Kau boleh saja membunuhku, tetapi kenangan akan selalu menghantuimu” 

Kau mendesah—terengah-engah dalam hembusan nafas membentuk suatu embun. Perlahan—sangat perlahan kau menyentuh bibirku. Kau cumbu dengan mesra. Ku tangkap dengan kasih sayang. Ku ungkapkan dalam perpisahan. Salam perpisahan.

“Selamat tinggal sayang. Selamat tinggal kenangan”

Kau lupa satu hal dan kini telah terjadi padaku ketika mataku terlelap lelah. Sebutir pil kematian cukup untuk mengakhiri segalanya. Telah ku telan jauh-jauh sebelumnya. Sebelum kita bertemu. Sebelum kita berkenalan, bersitatap dan jatuh cinta. Bercumbu dan bersenggama. Kini kau dan aku mati. mengakhir kisah tanpa dongeng. So, kiss me, kill me then, ‘coz I love you.


Makassar, 4/28/2011 9:28:45 PM

Wednesday 27 April 2011

Musyawarah Besar UKMM-UH

Undangan MUBES UKMM
diharapkan kehadiran temanteman, kakakakak, adikadik, serta pemerhati UKMMenulis FIB UNHAS untuk mengikuti MUBES yang Insya Allah dilaksanakan pada hari Jum'at, tanggal 22 April 2011, pukul 15.00 wita (jam 3 sore) bertempat di SekretCeria UKMMenulis FIB UNHAS (ruang FIB 111)

"mari kita bangunkan kembali UKMMenulis dari tidurnya"

_tiada kesan tanpa kehadiran canda tawa temanteman_

Setelah vakum beberapa bulan--yang mendekati tahunan--akhirnya UKMM bangkit dari hibernasi. Dan tentu saja hal ini menjadi salah satu berita yang menggembirakan, maklum aku sangat rindu aktivitas dibidang kepenulisan dan kreativitas dalam berkarya. Tak terkecuali, anak-anak UKMM tentunya yang memiliki seabrek kagiatan, yang parahnya susah untuk dikumpulkan semua. Untungnya ada acara MUBES, walaupun masih terbilang orang yang datang sedikit, tak menuntut pula kami berkecil hati.

Semoga dengan ini UKMM masih bisa mempertahankan eksistensinya dibidang kepenulisan sebagai suatu wadah yang menampung anspirasi masyarakat UH-FIB. amin
 
 
snapshoot acara MUBES UKMM

Tuesday 26 April 2011

Kasih Hawa



Ia berjalan bertelanjang kaki.
Hanya untuk mencari sesuap nasi tuk naknya.
Jerit tangis di pangkuan lebih menikam rasanya,
dari goresan duri yang mengiris kulit.

Ia berjalan tanpa kemis kasihmu.
Bukan untuknya tetapi darah dagingnya,
Yang merontah sehari demi susu.

Ia berjalan bercucur peluh.
Mengais rejeki demi buah hati.
Hanya untuknya, untuknya dan untuknya.
Kar’na itulah hidup baginya.


Nb:
Puisi ini sengaja kubuat untuk perempuan-perempuan tangguhku.


Makassar,4/22/2011 12:57:56 AM

Monday 25 April 2011

Wajah Bumi Kita


H
ari Bumi diperingati pada tanggal 22 April secara Internasional dan dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadapnya. Hal ini dicanangkan pertama kali oleh Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970 seorang pengajar lingkungan hidup. Tanggal ini bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan bumi utara) dan musim gugur di belahan bumi selatan. Namun, PBB sendiri merayakan hari bumi pada 20 Maret dengan sebuah tradisi yang dicanangkan oleh aktivis perdamaian, John McConnell pada tahun 1969, adalah hari dimana matahari tepat diatas khatulistiwa yang sering disebut Ekuinoks Maret.

B
umi merupakan tempat manusia hidup mulai dari lahir, kecil hingga beranjak dewasa, sampai meninggal pun kita masih akan tetap berada dibumi. Namun apa yang terjadi? Bumi yang kita pijak kini menjadi semakin ekstrim dan liar dengan banyaknya teguran dalam bentuk bencana alam yang awalnya memang kesalahan manusia yang hanya mengeksploitasi secara besar-besaran dalam mengais keuntungan personal tanpa memberi feedback terhadap bumi itu sendiri. Tengok saja, pohon-pohon yang kini semakin kehilangan lahannya akibat pembabakaan liar, kebakaran hutan dan pembangunan gedung-gedung pencakar langit tanpa diimbangin tindakan dalam melakukan reboisasi, penghijauan dan sebagainya.

M
emang kita sebagai manusia sejak kecil sudah mengerti dan memahami dengan pasti bahwa bumi sangat penting untuk kelangsungan hidup kita, namun yang ada hanya pemahaman semata tanpa adanya realisasi kita berupa tindakan nyata. Jujur sebenarnya, inilah salah satu landasan dasar saya kurang sepakat dalam merayakan hari bumi yang hanya jatuh pada tanggal 22 April ini—pikirkan hanya satu hari. Itu pun masih adanya segelintir manusia yang masih egois dalam ikut berpartisipasi. Bagaimana jadinya jika mesti di rayakan setiap hari? Bisa kau bayangkan sendiri, pasti mereka merasa enggan.

M
emulainya dari hal terkecil, diri sendiri dan sekarang. Mungkin terdengar sebagai sebuah motto kecil—dan mungkin pula anda menganggap saya terlalu menguliahi anda tentang kebaikan. Itu terserah anda? Saya hanya berusaha menjaring teman yang ingin menjadi sahabat bumi.

W
alaupun kini wajahnya penuh dengan kerutan tajam, noda hitam dan tanda penuaan yang kini nyata semakin hari. Sudah sepatutnya lah kita merenungi segala tindakan kita terhadap tempat yang kita tinggali bertahun-tahun dan akan mewarisinya untuk anak cucu  kita—apa tindakan nyata yang telah kita lakukan untuk bumi tercinta kita? Jangan bilang tidak ada.

H
anya dengan membuang sampah pada tempatnya, menghemat BBM dan listrik, serta air—secara langsung kita sudah sedikit berpartisipasi untuk kelangsungan bumi. Jika kita selalu bertanya, “mengapa harus saya, toh banyak juga yang lain yang tidak peduli,” maka yang terjadi adalah suatu proses percepatan kerusakan akan bumi kita sebagai tempat tinggal.

J
adi Marilah kita melindungi bumi dari kerusakan mulai dari hal-hal terkecil, diri sendiri dan sekarang. Sehingga kita dapat mewariskan kelestariannya untuk anak cucu kita di akan datang, Kenalilah bumi mu , Lindungilah bumi mu dan jadilah sahabat bumi.

Kartini Kini Tinggal Mitos

Ada merpati turun dari surga, melembut di atas alam. Putih seperti salju, halus seperti sutra, begitu cepat dalam kecepatan. Dalam mulutnya membawa sebuah batang semanggi Lembut hati-hati. Dimana tiga daun semanggi sesuai bersama. Merpati melemparkan batang dengan lembut ke bawah Dan segera terbang membuai dengan bertepuk tangan pergi ke surga lagi. Tetapi diberkatilah, diberkati, daun-daun Yang di sini menemukan kaki Mereka adalah Iman, dan Harapan dan Kasih yang bersama-sama sebagai satu.”
Dari kanan ke kiri : Kartini, Kardinah dan Roekmini.

           Penggalan puisi diatas adalah sebuah tulisan tangan asli berbahasa Belanda yang terdapat dibelakang foto kabinet dengan potret bertandatangan oleh tiga saudara yaitu Kartini, Kardinah, dan Roekmini.

Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan yang lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879, tepatnya 132 tahun yang lalu yang kemudian dikenal sebagai salah satu pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Lahir dari keluarga bangsawaan Jawa tidak lantas membahagiakan beliau, hal ini terbaca dari beberapa surat-suratnya kepada sejumlah rekannya. Kartini yang wafat dalam usia relatif dini—tepatnya pada usia ke-25 tahun 190. Cara kematiannya pun khas seorang ibu kebanyakan di Indonesia, wafat sewaktu melahirkan, tanpa sempat melihat anak pertamanya itu.

Kartini dari saat lahir, memang belum banyak berbuat untuk kemajuan kaumnya, namun buah pikiran dan cita-citanya menjadi inspirasi gerakan perempuan selanjutnya. Beliau merepukan sosok pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Perjuangannya dalam membela hak-hak kaum perempuan menjadi hal fenomenal yang patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapan pun.

Walaupun Kartini bukanlah sosok hero layaknya G.I. Jane yang diperankan oleh bintang seksi nan rupawan Demi Moore dalam drama film Hollywood yang memanggul senjata maju di medan perang. Namun, Ia adalah pendobrak patron dan paham patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental.