Wednesday 4 May 2011

Prolog Hitam


Buku kosong ini telah penuh sesak, corat marut, sobekan di setiap ujungnya dan kini kusam berantakan. Buku ini pun kini sudah tak layak kau baca—ia, tintanya telah memburam, merembes pada tiap-tiap lembaran kertas. Mungkin, hidupku pun penuh sesak. Sesesak buku kosong ini. Semakin dekatkah ia pada prolog kehidupan? Sebab diriku telah lelah menorehkan kata pada tiap paragraf dalam ceritanya. Baiknya sejenak ku 
berhenti, merenungi kisah ini. Kisah hitam putih. Kisah putih hitam. Kisah yang akan terus berputar.

Menarik nafas dalam-dalam sedetik. Menghembuskan semua asa yang tak tercapai. Bukan karena tidak mungkin, cuman belum saatnya. Tidak terdapat tanggal, hari dan apa pun pada buku kosong tetapi kenapa pula aku bersusah-susah menyinggungnya, toh itu tak penting, yang jelas isinya berbobot. Mungkin pula penuh sesaknya karena sesekali tulisan yang telah tertulis ku hapus paksa hingga terdapat banyak corat-marut disana-sini. Kalau aku kesal sambil meluangkan waktuku padanya, ku sobek ia sesuka hatiku tuk meluapkan segala emosi yang tertahan di dada. Aku tidak tahu, kenapa aku begitu kesal dan terasa tenang ketika ia yang harus menanggung seluruh beban emosiku. Seluruh keegoisanku. Seluruh hidupku.

Prolog hitam mulai tampak pada penghujungnya, aku kini tak sanggup melanjutkannya. Ku hentakkan keras pada bidang meja didepanku, kulempar pada dinding, kertas berhamburan menyeruak pada bagian-bagian yang melepaskan diri dari sebah ikatan yang membelenggu dalam kesatuan yang semu. Aku muak. Aku munafik. Dan aku mengakuinya. Tawamu mungkin membahana hingga ke ujung samudera anta-berantah. Masa bodoh!

Aku kejang-kejang, berbusa, tapi bukan epilepsi. Hanya sindrome ketakutan akut yang tak tertahankan akan suatu pengakhiran yang tidak pasti. Buram? Bias? Atau kabur? Mungkin gabungan seluruhnya yang menyatu pasti dalam darahku.

Buku kosong. Ku bakar ia setelah mendekam lama, dalam drum berisi kayu, bensin dan kertas lainnya. Ku nyalakan korek kayu ini. Debaran dada membludak. Mendidihkan gumpalan merahku. Alirannya terpompa deras hingga ke pelosok sudut. Beku. 3 detik. 5 menit. Setengah jam. Kayu korek itu mati tertiup angin.

Ku nyalakan lagi. Mati. Berikutnya, mati. Tetap kucoba. Ia berpijar. Ku lempar saja langsung ke dalam. Berharap ia terbakar dalam bahagia. Dalam pekatnya teka-teki yang tidak mesti selamanya diungkapankan. Berharap biarlah sebuah prolog ini menjadi kejutan tersendiri dalam hidupku. Tanpa sebuah tulisan yang ku rancang jauh-jauh sebelumnya. Seolah kehidupan dapat terbaca dalam sebuah buku kosong ini.

Selamat tinggal buku kosong, dan epilog hitammu telah mendekat. Dan aku bahagia menjadi bagian kecil darimu.

Makassar
Wessabe, 5/4/2011 4:13:32 PM

No comments: